Childfree, sekarang banyak dianut Gen-Z?

7/12/20243 min read

Childfree dan feminisme

Beberapa jam yang lalu saya mengikuti diskusi seputar fenimism yang dibahas acak oleh Guru Gembul, Coki Pardede, dan Cania di youtube. Dari berbagai ekses fenimisme, yang paling nampak hari ini adalah konsep 'childfree'. Beberapa tahun lalu, perbincangan tentang childfree ini jadi ramai saat konten kreator, Gita Savitri yang tinggal di Jerman memilih untuk tidak punya anak, alias childfree, dan mengumumkannya di media sosial. Sejak saat itu konsep 'childfree' atau memilih untuk tidak memiliki anak telah menjadi topik yang cukup kontroversial hingga beberapa bulan terakhir. Adapun akarnya, gerakan fenimisme sendiri berawal pada tahun 1970-an, di mana perempuan mulai menuntut hak mereka untuk memilih jalur hidup mereka sendiri, termasuk keputusan untuk tidak memiliki anak.

Beberapa hari yang lalu seorang kontributor di Malaka Project kembali berbicara tentang 'childfree', dirinya mengkritik orang-orang yang menjadi pengkritik 'childfree'. Berbagai argumen diberikan untuk menekan pandangan dari penolak childfree, misalnya dengan menyatakan bahwa childfree itu tidak begitu kontributif terhadap penurunan populasi (depopulasi), dan lain-lain yang kemudian beberapa argumennya terasa tidak nyambung, misalnya menyamakan childfree dengan menunda memiliki anak sampai waktu tertentu, dimana sebenarnya menunda sendiri bukanlah 'childfree'.

Bentuk egoisme paling baru

Secara filosofis, konsep childfree didukung oleh beberapa argumen yang sering kali bersifat individualistis. Para pendukung childfree berpendapat bahwa setiap individu memiliki hak penuh untuk menentukan jalan hidup mereka tanpa tekanan sosial. Mereka juga sering mengutip alasan lingkungan dan ekonomi sebagai faktor yang mendukung keputusan mereka. Paradigma ini menekankan pada kebebasan pribadi dan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan bumi. Alasan-alasan ini yang biasanya kita dengarkan dari sebagian penganut dan pendukung childfree, sebagian pendukung lainnya ya ikut-ikutan, dimana sebagian yang besar ini mendukung childfree hanya dengan landasan bahwa semua orang memiliki kebebasan menentukan jalannya sendiri, termasuk memilih untuk childfree. Alasan ini klasik dan jorok, satu senjata yang digunakan berulang-ulang untuk semua kasus dan isu sosial oleh mereka yang "ingin" melabeli dirinya sebagai golongan toleran. Orang-orang sepeti ini kemungkinan tak paham bahwa tindakan individu itu berpengaruh besar terhadap struktur sosial dan ekonomi. Pengaruh paling sederhana adalah populasi yang menua tanpa adanya generasi penerus dapat menyebabkan berbagai masalah, mulai dari kekurangan tenaga kerja hingga beban yang lebih besar pada sistem pensiun dan kesehatan.

Orang-orang ini juga tidak melihat atau tidak peduli bahwa dengan memilih untuk tidak memiliki anak, itu adalah bentuk egoisme yang mengabaikan nilai-nilai kebersamaan dan tanggung jawab sosial. Dalam budaya yang sangat menghargai keluarga dan komunitas, keputusan untuk childfree merupakan tindakan yang tidak mempertimbangkan kepentingan bersama. Mereka mungkin tidak sadar akan hal tersebut, padahal di satu sisi mereka juga tetap bersuara banyak tentang pentingnya menjaga kepentingan bersama, merawat kesetaraan, di saat yang sama childfree yang mereka dukung sendiri adalah bentuk pengabaian terhadap tanggungjawab kebersamaan sosial.

Jangan asal ikut-ikutan

Penting untuk diingat bahwa setiap keputusan besar dalam hidup, termasuk keputusan untuk childfree, harus dipertimbangkan dengan matang. Sebagai masyarakat, kita perlu membuka dialog yang lebih luas dan inklusif tentang isu ini, sehingga setiap individu dapat membuat keputusan yang paling sesuai dengan nilai dan kondisi hidup mereka tanpa mengabaikan dampak sosial yang lebih luas. Dengan meninjau ulang konsep childfree, kita dapat menemukan cara untuk mencapai keseimbangan antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial, sehingga setiap keputusan yang diambil dapat berkontribusi positif bagi diri sendiri dan masyarakat.

Depopulasi itu adalah isu besar yang terbukti telah membuat panik negara-negara yang mengalaminya. Karena masalah ini sangat mengkhawatirkan, makanya seluruh elemen baiknya perlu matang dalam berpikir dan bertindak, terutama mereka yang berpengaruh dan punya pengikut. Mereka yang punya pengaruh (artis, akademisi, ulama, dll.) baiknya ikut bersuara, mau mendukung atau menolak, sehingga diskursus ini selalu ada dalam pusaran pembicaraan. Karena kalau hanya sebagian yang gencar untuk menyuarakan, dan sebagian yang lain malah gentar dan cari aman, maka diskursusnya akan menjadi sangat mentah tanpa terevaluasi dari berbagai sisi. Konsep mentah inilah yang kemudian diterima oleh Gen Z, mereka menganutnya kemudian menerapkannya tanpa pemahaman yang lengkap.