Mengingat-ingat

11/25/20243 min read

brown wooden chair beside white wall
brown wooden chair beside white wall

Di saat kapan kamu bisa mengingat-ingat hidup yang telah kamu jalani? Mencari hikmah pada beberapa kejadian. Kalau kamu bisa mengingatnya, lakukanlah! Cari waktu baik untuk mengingat-ingat. Karena banyak hal yang bisa kita pelajari kalau kita mau sedikit merenung, diam dan mengambil jarak dari percakapan hari-hari ini.

25 tahun yang lalu, Saya adalah seorang bocah yang tinggal di kampung, pulang sekolah biasanya menenteng lidi, untuk mencari capung, caranya dengan menangkap anak capung, menusukkannya ke ujung lidi, menjadi umpan bagi capung yang lebih besar. Sesampainya di rumah, ketemu dengan Ibu yang masih bugar bekerja. Memasak makanan seadanya, sebagian besar hasil kebun, adapula tetumbuhan yang tumbuh liar, langsung dipetik saja. Sore hari Ayah pulang dari kebun, wajah peluh. Tapi tak ada keluh.

Hingga saat ini Saya tak pernah begitu tahu, kenapa capung besar hinggap ke capung kecil? Kenapa mereka memakan sesamanya? Belakangan baru tahu bahwa banyak hewan yang kanibal, memakan sesamanya, memangsa yang lebih kecil. Belakangan juga baru tahu bahwa menangkap capung dan menusukkannya ke ujung lidi adalah perilaku tidak pantas.

Belakangan baru saya tahu bahwa perempuan begitu mewah dengan kesederhanaan, dan laki-laki begitu mewah dengan kerja keras.

Ayah kembali kepada keharibaan Allah SWT saat Saya duduk di kelas 5 SD. Semua orang menangis, saya ikutan menangis. Hari itu sedihku mungkin tak sebesar tangisku, baru kemudian menjadi sangat terasa setelah hari-hari terus berjalan, sedih yang ada bukan main besarnya. Bukan hanya kehilangan sosok yang memang begitu tangguh, tapi juga dampak atas kehilangan seorang ayah makin lama makin nyata. Semenjak kepergian Ayah, Saya tak ingat semua pekerjaan yang ibu lakukan untuk memberi makan keluarga. Saat itu Kakak Saya memutuskan untuk berhenti bersekolah demi mengurangi beban keluarga.

Mengingat-ingat masa lalu, Saya tahu rasa dan makna kehilangan. Saya tahu alasan di balik pengorbanan. Saya tahu arti sebuah keluarga.

Di masa lalu, Saya pernah menjadi jawara kelas, ikutan lomba, olimpiade, mengetuai organisasi, membuat Ibu saya bangga, menjadikannya semakin semangat mengumpulkan uang untuk biaya hidup dan biaya sekolah Saya, mengutang kesana kemari, menjadi buruh tani, menjual rumah. Kakak saya bekerja kesana kemari, ke kota bekerja, menjaga toko, memberi saya uang untuk mengurangi beban Ibu. Sementara Saya di sekolah, banyak eksplor pergaulan baru, kadang malas-malasan, pernah bolos, ikut-ikutan dengan teman.

Mengingat-ingat masa lalu, pengorbanan besar memang seringnya tak berbalas kebaikan sempurna. Tapi para pejuang seperti Ibu dan Kakakku, mereka tetap menjadi terhormat atas kerja keras dan ketulusannya, tak bergantung pada siapa saya kelak, bagaimana Saya di ujungnya.

Beberapa tahun berlalu, Saya ketemu dengan banyak orang. Ketemu teman baru, lingkungan baru, karakter baru. Memori tentang kehilangan, pengorbanan, keluarga, dan kehormatan yang selama ini ada, perlahan tergerus. Ditutupi kebisingan pertemanan dan cita-cita masa depan.

Saya saat itu menjadi seseorang yang baru. Di dunia SMA hingga kampus, kesetiakawanan menjadi nilai yang sangat tinggi yang saya temui. Mana lagi, kata-kata dari perempuan turut menjadi pemberi warna. Hingga akhirnya Ibu dan Kakak hanya disamperin saat ada perlu. Mengingat masa ini, Saya tahu bahwa bencana besar tidaklah berupa kehancuran fisik pada alam, tapi bencana besar ada pada setiap orang, ketika dia tercabut dari akarnya, lupa diri, kemudian menjadi tak tentu arah.

Hari ini saya mempertanyakan dari mana datangnya keinginan-keinginan baru. Dia selalu muncul menggugah gairah, Menjadikan kita seseorang yang baru lagi, baru lagi. Setiap waktu kita menjadi berbeda. Apakah karena banyaknya referensi yg harian kita lihat? Atau karena sesuatu yg gradual terbentuk di dalam diri karena perjalanan panjang yang menumpuk pengalaman?

Saya pernah di satu waktu hendak menjadi penyair. Menulis 1 puisi perhari. Berlangsung hingga sekitar beberapa bulan. Sampai akhirnya Saya sadar bahwa saya perlu uang. Dan, puisi tak bekerja apa-apa untuk menghadirkan itu. Di waktu yang lain Saya jualan buku karena hendak menjadi pebisnis. Membeli buku berjuta-juta rupiah. Tak takut rugi karena kalau tidak terjual Saya bisa memiliki setumpuk buku. Akhirnya memang hanya 1 atau 2 buku saja yg terjual.

Di satu waktu saya begitu khawatir tentang keadaan di sekitar. Saya melakukan apa saja yang menurut Saya perlu dilakukan. Mengumpulkan uang dari teman yang sukses untuk memberi makan mereka yang hidup di jalan. Terhenti ketika Saya padat di kerjaan. Hilang begitu saja. Padahal telah berjalan 3 bulan lamanya.

Kita selalu hidup di permukaan. Spektrumnya luas. Jarak pandang kita jauh. Mampu menjangkau banyak titik. Dengannya kita menemukan banyak hal yang belum pernah kita temu. Karena kita hidup di permukaan. Mudah saja bagi kita untuk menggelinding kesana kemari. Mendatangi titik yang kita suka. Dengan cepat melupakan titik yang sebelumnya kita geluti. Begitu seterusnya.